Suku Baduy adalah suku pedalaman yang berada di daerah Banten dan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Suku Baduy merupakan salah satu suku yang masih memegang teguh tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka turun menurun dari generasi ke generasi.
Perkenalkan, kami – Adinda D.S, Ayu Asti L, Naufal Hasnur, Riska Dewi A.S, Vallery Inggrid dari Ca-KMPA ITERA beserta anggota KMPA ITERA: M. Rachmat (KMPA-039-ITR), Ilham (KMPA-036-ITR), dan Nazel M. Al-Fawwaz (KMPA-041-ITR) melakukan kegiatan mini riset ke Suku Baduy. Kegiatan mini riset ini adalah kegiatan puncak atau tugas besar dari salah satu divisi di KMPA (Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam), yaitu Divisi Gunung Hutan setelah kegiatan pembekalan materi selama empat minggu.
Rabu (9/5) selepas Sholat Ashar, kami semua berkumpul di ITERA untuk kemudian bersama-sama menuju Terminal Rajabasa agar kemudian pergi ke Pelabuhan Bakauheni menggunakan bus. Setelah perjalanan empat jam akhirnya kami tiba di Pelabuhan Bakauheni. Perjalanan di atas kapal memakan waktu selama 2 jam 51 menit. Setelah energi kembali pulih dikarenakan makan malam mendekati pagi hari, kami langsung menuju stasiun kereta api untuk menuju ke Stasiun Rangkasbitung. Tepat setelah selesainya Sholat Shubuh, kereta langsung berangkat menuju Stasiun Rangkasbitung. Tidak ada banyak hal yang dilakukan di dalam kereta, lebih banyak istirahat karena terjaga di kapal.
Perjalanan ke Stasiun Rangkasbitung menghabiskan waktu selama 2 jam perjalanan. Setelah sampai disana, kami menunggu Abah Pulung. Abah Pulung adalah masyarakat baduy luar yang menjadi teman perjalanan dan pemandu perjalanan untuk masuk ke Suku Baduy. Setibanya abah di stasiun, kami langsung menuju ke terminal bus untuk langsung bertolak ke Desa Ciboleger, yaitu desa terakhir sebelum masuk ke dalam Suku Baduy. Perjalanan untuk menuju Desa Ciboleger memakan waktu selama 1 jam 51 menit. Selama perjalanan kami dimanjakan dengan pemandangan dari kota Rangkasbitung ini. Untuk menuju ke Desa Ciboleger dari stasiun seharusnya menuju Terminal Aweh baru kemudian naik mobil elf untuk menuju ke Desa Ciboleger. Kami beruntung karena Abah Pulung membawa mobil elf untuk menjemput kami, ada beberapa penduduk sekitar yang ikut naik mobil elf ini karena satu tujuan yaitu menuju sekitar desa. Di sepanjang jalan untuk menuju ke Desa Ciboleger terlihat sumber daya tambang pasir yang cukup melimpah.
Jalan menuju Desa Ciboleger bisa dibilang sudah bagus, meski pun ada bagian yang masih di perbaiki karena berlubang. Di sepanjang jalan kami melihat ada beberapa sekolah. Kami juga melihat ada ciri khas dari masyarakat sekitar dalam berbusana, masyarakat sekitar memakai kain bermotif batik berwarna biru atau bisa dibilang batik Suku Baduy. Untuk perempuan memakainya sebagai rok atau kain yang dililitkan dari pinggang hingga mata kaki. Sementara itu, untuk laki-laki menggunakan kain batik di kepala atau dijadikan syal yang diletakkan disekitar pundak. Mobil elf ini sangat tangguh sekali. Selain jalannya yang naik turun, ketika penumpang sudah penuh di dalam, maka penumpang dialihkan ke atas mobil. Salah satu anggota tim mencoba untuk naik ke atas mobil. Butuh keberanian untuk melihat ke depan dan kehati-hatian dalam berpegangan dengan sisi atas mobil elf, kadang ketika ada pohon yang agak rendah maka penumpang yang diatas otomatis harus menghindar agar tidak terkena ranting pohon.
Setibanya di Desa Ciboleger, kami pun sarapan. Di sekitar tugu selamat datang banyak terdapat tempat makan dan pusat oleh-oleh, terdapat juga minimarket. Setelah semua perbekalan untuk perjalanan dibeli, kami langsung jalan menuju Suku Baduy Luar, tetapi sebelum itu kami menuju ketua desa atau pu’un dari Suku Baduy untuk mendapat izin agar dapat masuk ke dalam Suku Baduy.
Setelah perizinan diperoleh, kami langsung berangkat untuk mempersingkat waktu. Di sepanjang jalan kami melihat rumah-rumah masyarakat menjual cendera mata khas Suku Baduy. Mereka menjual madu, selimut tenun, gelang akar, gelang kulit pohon, gantungan kunci, tas kulit pohon, syal tenun, slayer batik baduy, dan kain batik Suku Baduy. Untuk harganya masih terbilang bersahabat dengan kantong para mahasiswa.
Suku Baduy terdiri dari dua, yaitu Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam dengan keseluruhan desa berjumlah 68 desa. 65 desa Suku Baduy Luar dan 3 desa Suku Baduy Dalam. Nama-nama desa yang berada di Baduy Dalam adalah Desa Cibeo, Desa Cikertawarna, dan Desa Cikeusik. Desa yang paling jauh adalah Desa Cikeusik dengan perkiraan waktu perjalanan 1 hari dari Desa Ciboleger.
Keseharian wanita di Suku Baduy Luar adalah menenun kain untuk dijadikan cendera mata atau kebutuhan pribadi. Selain itu, wanita di Suku Baduy Luar juga mencari kayu bakar untuk bahan bakar memasak. Di Suku Baduy mereka memasak menggunakan kayu bakar dan untuk dapur mereka meletakkannya di dalam rumah. Selain itu wanita Suku Baduy Luar gemar bersolek, bisa dilihat dari make up atau bedak dan liptint yang mereka pakai. Mereka sangat menjaga dan merawat diri mereka sendiri. Wanita Suku Baduy juga kuat, karena mereka sering pergi jauh berbelanja dan mencari kayu bakar, tidak kalah kuat dengan laki-lakinya. Anak kecil juga sudah diajarkan untuk memahami kehidupan. Jika mereka ingin mencari kayu bakar maka mereka membawa anak-anaknya untuk membantu ibunya atau kakaknya yang lebih tua.
Keseharian para lelaki di Suku Baduy juga tak kalah menarik. Ada yang berkebun, membuat atap rumah menggunakan daun pohon aren atau melinjo, membuat lantai rumah menggunakan bambu yang dibentuk datar dan berongga, menjadi ahli kayu rumah, dan berjualan kepada para wisatawan.
Cara pembuatan lantai rumah ini sangat sederhana. Hal yang paling pertama adalah memilih dan menebang pohon bambu yang cukup lurus untuk dibuat datar dengan cara membuat rongga-rongga panjang seperti garis baru untuk membuat celah agar bambu bisa menjadi datar. Setelah bambu telah menjadi datar barulah dilakukan proses penjemuran agar memperkuat dan menghilangkan air, proses penjemuran dilakukan sampai bambu mencapai warna kekuning-kuningan.
Jangan takut akan kehausan dan kebingungan ketika kehabisan persediaan air minum. Terdapat warung dan warung bayangan yang menjual minuman panas dan minuman segar. Untuk para perokok juga jangan takut, karena banyak warga yang menjual berbagai macam jenis rokok.
Jalur perjalanan di Suku Baduy ini naik dan turun, cukup curam jika tidak terbiasa dan yang paling mengagumkan adalah jalurnya tersusun oleh batu-batu yang sangat tersusun rapi dan sangat panjang karena Baduy Luar ada kebijakan, yaitu di setiap desanya yang berupa pembangunan jalanan yang terintegrasi dan di setiap desa mendapatkan jatah masing-masing dari mana hingga sampai mana mereka harus membuat jalan bebatuan itu. Ada juga yang tidak berupa jalan bebatuan seperti jalan menuju ladang untuk bertani atau jalan-jalan yang dibuat sendiri oleh masyarakatnya untuk keperluan lain.
MCK ini digunakan oleh Suku Baduy Luar hanya untuk buang air kecil saja dan menyuci perabotan rumah tangga. Ketika ingin buang air besar biasanya masyarakat menuju kali atau sungai. Suku Baduy ini seperti dikelilingi oleh sungai panjang yang melintasi desa-desa. Terdapat banyak jembatan juga, karena kebanyakan perbatasan desa dibatasi oleh jembatan dan sungai.
Di luar jalur utama terdapat jalur masyarakat lokal untuk mereka bertani, berkebun, dan mencari kayu bakar. Jalan ini biasanya hanya separuhnya yang dibuat jalur bebatuan sisanya masih berupa jalur tanah.
Setelah perjalanan yang cukup menguras tenaga, akhirnya kami tiba di rumah Abah Pulung. Di rumah Abah Pulung kami beristirahat sambil berbincang-bincang tentang Suku Baduy. Setelah cukup istirahat kami mulai memasak untuk makan sore, kami pun berbincang dengan Abah Pulung mengenai Suku Baduy.
Kata Abah Pulung, agama yang dianut oleh Suku Baduy adalah Slam Wiwitan yang dulunya adalah Sunda Wiwitan. Olehkarena Agama Sunda Wiwitan sudah menjadi nama agama di daerah lain di KTP, maka masyarakat baduy menyebut Agama mereka adalah Slam Wiwitan dengan ada penggabungan agama Islam di dalamnya. Karena daerah Ciboleger masuk dalam kerajaan Padjajaran, maka jika dilihat dari sejarah ke belakang ada Sunan Gunung Jati yang berdakwah di daerah Banten. Sunan Gunung Jati pula yang akhirnya menjadikan Banten sebagai kerjaan Islam karena pengaruh kerajaan dahulu masyarakat Baduy menganut agama Islam tetapi hanya menerapkan berpuasa, dan itu pun puasanya bukan pada bulan Ramadhan. Masyarakat Suku Baduy berpuasa selama tiga bulan terakhir sebelum pergantian tahun pada sistem penanggalan tahun meraka. Masyarakat Baduy Luar dan Dalam akan berkumpul bersama untuk melakukan ibadah puasa mereka di Baduy Dalam. Oleh karena itu pada tiga bulan terakhir sebelum pergantian tahun mereka wilayah Baduy Dalam tidak bisa dimasuki oleh masyarakat luar, karena mereka sedang melakukan ibadah berpuasa. Masyarakat Baduy menyebut puasa selama 3 bulan itu adalah Puasa Kawalu. Puasa Kawalu dilakukan sama seperti yang dilakukan oleh orang Islam dan dalam 3 bulan itu masyarakat mendekatkan diri dengan Tuhan dan memanjatkan do’a agar selalu diberikan kelimpahan rezeki dan keselamatan dalam menjalani kehidupan dan kebanyakan masyarakat hanya berdiam diri di dalam rumah.
Keren! Ditunggu episode bersambungnya
Pingback: Hangat Baduy Dalam – KMPA ITERA