Hangat Baduy Dalam

Cerita sebelumnya: Pesona Baduy Luar

 

Keesokan harinya kami bersiap untuk berangkat menuju Suku Baduy Dalam. Sebelumnya kami memasak terlebih dahulu dan menyiapkan bekal untuk di jalan. Setelah memasak, kami siap berangkat menuju tujuan utama yaitu Suku Baduy Dalam. Perjalanan dimulai pada pukul 9 pagi dan perjalanan kali ini anak dari Abah Pulung yang mengantarkan kami ke Baduy Dalam, yaitu Nara. Nara masih berumur 16 tahun dan dia sangat cepat dalam melangkah. Setelah satu jam perjalanan dan melewati satu desa Suku Baduy Luar, kami pun tiba di perbatasan Suku Baduy Luar dan Dalam.

Gambar 1. Perbatasan Suku Baduy Luar dan Dalam

Suku Baduy Luar dan Dalam dibatasi oleh sungai dan jembatan bambu kedua. Setelah melewati perbatasan ini, jalur selanjutnya adalah yang paling terjal selama di Suku Baduy. Tanjakan yang terbilang curam dan ujung dari tanjakan ini yang bisa membuat halusinasi seperti tidak ada habisnya. Setelah tanjakan yang curam selesai, ada sebuah rumah pertama masyarakat Suku Baduy Dalam di dekat perbatasan Baduy Luar dan Baduy Dalam. Kami beristirahat sejenak disana sebelum melanjutkan kembali perjalanan. Setelah cukup beristirahat, kami pun melanjutkan kembali perjalanan. Jalanan di Baduy Dalam masih berupa tanah dan jarang yang berupa bebatuan, karena di sana tidak ada kebijakan dalam hal pembuatan jalan itu, dan masih menjaga ke asrian alam yang mereka tempati.

Pertama kali masuk ke perkampungan masyarakat Suku Baduy Dalam kami di sambut oleh puluhan lumbung padi yang terbuat dari bambu dan berbentuk seperti rumah panggung. Setelah lumbung padi terlewati, kami disambut oleh sungai kecil yang airnya sangat bening sekali. Kami melewati jembatan bambu pendek untuk melewati sungai kecil ini. Dan akhirnya setelah melewati sungai, kami masuk ke Desa Cibeo di mana ini desa terdekat dengan Suku Baduy Luar dan desa yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan. Kami langsung menuju warung untuk membeli snack karena sedikit lapar, sedangkan Nara mencari rumah masyarakat Baduy Dalam yang dapat kami tinggali semalam. Setelah Nara selesai mencari, kami langsung menuju rumah Aldi. Aldi adalah nama anak dari tuan rumah yang kami tempati. Hal pertama yang dilakukan ketika memasuki rumah Aldi adalah minum, dan kami dibuat terpesona karena melihat gelas yang disajikan terbuat dari bilah bambu. Perkataan Abah Pulung sebelumnya ternyata benar, juga tentang tempat menyimpan air matangnya terbuat dari kaca dan di Desa Cibeo. Bahan dan bentuknya juga sama. Tempat itu bernama bacok. Terdengar menyeramkan, tetapi memang begitu. Kegiatan selama di Baduy Dalam adalah wawancara tentang budaya dan kebiasaan di Suku Baduy Dalam. Setelah dirasa cukup, kami langsung istirahat karena badan terasa lelah selama perjalanan. Pada sore harinya kami Sholat Ashar dan sebelumnya mengambil wudhu di sungai. Sensasi berwudhu di sungai sangat nikmat karena selain tidak biasanya seperti itu dan terlebih lagi airnya jernih dan dingin.

Selepas mandi kami langsung kembali ke rumah Aldi karena hari sudah gelap dan harus menunaikan Sholat Maghrib. Selepas Sholat Maghrib, kami langsung makan malam bersama keluarga besar Aldi. Makan malam yang sangat hangat karena makan bersama dan di temani oleh lilin-lilin yang menyala bukan lampu seperti di kota. Di depan rumah terdapat bambu yang menyimpan air untuk cuci tangan dan kegiatan lainnya. Nama wadah bambu itu adalah kele’ yang berfungsi untuk menyimpan air. Setelah makan kami Sholat Isya dan minum Kopi Lampung, percakapan hangat pun terus berlanjut. Cuaca malam hari di Baduy Dalam sangat dingin, hingga membuat rasa kantuk terus menyerang.

Memegang Teguh Adat Tradisional

Masyarakat Baduy Dalam tidak diperbolehkan menggunakan teknologi, tetapi masyarakat Baduy Luar diperbolehkan. Masyarakat Baduy Luar bisa menggunakan transportasi untuk berpergian kemana saja, lain halnya dengan masyarakat Baduy Dalam yang tidak diperbolehkan menggunakan hal yang modern, maka mereka harus berjalan kaki dan tidak menggunakan alas kaki ketika berpergian kemana saja. Ketika ingin pergi keluar pulau itu adalah hal yang sulit bagi masyarakat Baduy Dalam, mereka harus berenang dan itu adalah kesulitan yang besar jika di tambah tidak bisanya mereka dalam hal renang. Setelah melewati perbatasan Baduy Luar dan Baduy Dalam dan mulai memasuki daerah Baduy Dalam maka semua jenis teknologi tidak dibolehkan untuk digunakan, tetapi boleh untuk dibawa. Hal tersebut karena masyarakat Baduy Dalam masih menjaga tradisi nenek moyang mereka, ketika pengunjung melakukan pelanggaran adat yaitu menggunakan teknologi apalagi mengambil foto atau gambar tanpa izin dari masyarakat Baduy Dalam, maka akan dikenakan denda adat yang kami tidak ketahui berapa besarannya. Olehkarena itu, siapkanlah lilin ketika hendak menginap di Baduy Dalam, karena penerangan di Baduy Dalam hanya berupa cahaya lilin saja.

Pu’un

Di Suku Baduy Dalam pu’un atau kepala desa mereka jarang sekali keluar rumah, karena pu’un adalah orang yang sepuh dan di hormati di setiap desanya masing-masing. Pu’un akan keluar dari rumahnya jika ada suatu hal yang penting yang membuatnya harus keluar dari rumah. Bagi wisatawan yang melihat pu’un di Baduy Dalam adalah suatu keberuntungan yang sangat besar, karena pemandangan itu sangat jarang sekali di Baduy Dalam.

Pakaian Khas Suku Baduy

Pakaian yang digunakan oleh masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam terdapat perbedaan. Masyarakat Baduy Luar berpakaian bebas seperti masyarakat kota pada umumnya, akan tetapi ketika masyarakat Baduy Luar hendak pergi dan memasuki daerah Baduy Dalam wajib hukumnya memakai pakaian berwarna hitam, ini merupakan peraturan adat yang berlaku di Suku Baduy. Akan tetapi masyarakat Baduy Dalam berpakaian hanya menggunakan 2 unsur warna pada pakaiannnya, warnanya itu adalah hitam dan putih. Masyarakat Baduy Dalam kesehariannya hanya menggunakan pakaian berwarna itu di karenakan peraturan adat yang berlaku sejak dahulu kala seperti itu. Masyarakat Baduy Dalam pakaiannya tidak di perbolehkan menggunakan kancing pada pakaiannya, pakaiannya langsung pakai seperti kaos oblong berwarna hitam maupun putih. Masyarakat Baduy Luar berpakaian bebas dan di perbolehkan memakai kancing di pakaiannya, itu adalah perbedaan pakaian masyarakat Baduy Luar dan Dalam. Pakaian Baduy Dalam berasal dari Baduy Luar dan ketika ada tamu di Baduy Dalam yang membawakan mereka pakaian selain warna hitam dan putih dan terdapat kancingnya. Masyarakat Baduy Dalam biasanya memberikan hadiah dari tamu tersebut ke teman atau saudara mereka yang berada di Baduy Luar.

Masyarakat Baduy juga senang sekali memakai gelang dan kalung, mulai dari anak-anak kecil di sana sampai orang dewasa. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Baduy senang memakai pernak-pernik dan perhiasan, dan kalau ada yang tidak suka memakainya di persilahkan untuk tidak memakai. Masyarakat Baduy juga senang dalam menggunakan ikat kepala. Di Baduy Luar masyarakatnya memakai ikat kepala dengan motif batik dari Suku Baduy dengan warna identiknya adalah hitam dan biru, sedangkan masyarakat Baduy Dalam memakai ikat kepala kain putih tidak bermotif dan tidak warna lain. Untuk perempuannya memakai rok motif batik Suku Baduy untuk masyarakat Baduy Luar, sedangkan untuk masyarakat Baduy Dalamnya memakai rok berwarna hitam maupun putih.

Pernikahan Suku Baduy

Pernikahan di Suku Baduy terbilang ekstrem, karena perempuan disana dapat menikah di umur 16 tahun, karena umur 16 tahun adalah umur yang bisa dibilang sudah mumpuni untuk menikah dan bisa mengatur dan mengurus diri mereka sendiri. Sementara itu untuk laki-lakinya dapat menikah pada umur 21 tahun, dimana para lelaki sudah cukup matang dan mapan dalam segi membina rumah tangga dan mapan pekerjaannya. Karena laki-laki harus bekerja lebih keras untuk hidup dan bertahan hidup. Biasanya di masyarakat Baduy pernikahan mereka hanya pada satu golongan, misalnya Baduy Dalam dengan Baduy Dalam. Akan tetapi diperbolehkan untuk menikah dengan orang di luar golongannya. Ketika masyarakat Baduy Luar menikah dengan masyarakat Baduy Dalam, maka orang Baduy Dalam akan pindah menjadi masyarakat Baduy Luar karena persyaratan dalam suku yang ketat pada Masyarakat Baduy. Akan tetapi bisa saja masyarakat Baduy Luar menjadi masyarakat Baduy Dalam, tetapi harus mengikuti proses adat yang panjang dan sulit. Dan orang di luar masyarakat Baduy bisa menikah dengan masyarakat Baduy, tetapi harus ada yang memilih dan berkorban dalam segi agama dan suku. Masyarakat Luar boleh mengikuti agama dari masyarakat Baduy dan menetap di Baduy, ada juga yang keluar dari Suku Baduy dan mengikuti agama dari masyarakat luar Baduy ini.

Waktu Shubuh pun tiba. Masyarakat Baduy Dalam sudah bangun, mereka bersiap untuk bertani dan memulai kegiatan sehari-harinya. Masyarakat Suku Baduy beragama Slam Wiwitan, dimana mereka tidak mengerjakan sholat 5 waktu dan tidak puasa Ramadhan tetapi mereka berpuasa selama 3 bulan pada penghujung akhir tahun pada sistem penanggalan Suku Baduy. Keseharian masyarakat Baduy Dalam adalah merawat anak dan mencari kayu bakar dan mencari sembako untuk kehidupan sehari-harinya, sedangkan untuk laki-lakinya bertani dan berbelanja besar ke Rangkasbitung. Masyarakat Baduy Dalam melakukan semua aktifitasnya di sungai, mulai dari mencuci, mandi, buang air, dan yang lainnya.

Setelah selesai memasak, kami langsung makan bersama lagi dan lagi. Kebersamaan dan kehangatan tercipta dari makan bersama ini. Setelah makan kami bersiap untuk pulang dan segera berpamitan. Kami berpamitan pulang dan segera menuju Baduy Luar. Olehkarena jalur yang dilewati sudah tidak asing, maka dari itu jalan terasa cepat dan jarang istirahatnya.

Kunjungan Orang Baduy ke Starb*ck

Ketika beristirahat, kami bertemu dengan masyarakat setempat dan terjadilah obrolan tipis yang membuat kami agak heran sendiri. Bagaimana tidak heran, dia bercerita tentang perjalanannya di Kota Jakarta. Dia berkunjung ke rumah wisatawan yang berkunjung kerumahnya dan meninggalkan alamat rumahnya. Dengan berjalan kaki dari Baduy Dalam sampai Jakarta dalam tempo waktu 3 hari. Dia juga bercerita tentang pengalamannya yang membuat kami terheran karena dia diajak oleh tamunya ke starb*ck. Kami yang notabennya adalah masyarakat yang tinggal di kota dan dekat dengan berbagai mall belum pernah sekali pun ke starb*ck, tapi dia sudah pernah pergi dan minum kopi yang ada disana.yang katanya pahit. Setelah itu, ia berpamitan karena ingin pergi ke Desa Ciboleger dan kami juga langsung melanjutkan perjalanan.

Bertemu Saudara di Tanah Baduy

Setelah perjalanan yang cukup menguras tenaga, kami akhirnya kembali ke rumah Abah Pulung dan beristirahat sejenak. Abah bercerita bahwa ada tamunya yang dari Lampung. Kami pun kaget dan penasaran hingga akhirnya menemui tamu-tamu abah yang datang sehari setelah kami sampai. Dan benar saja, kami bertemu saudara-saudara kami dari Lampung dengan jumlah 2 perempuan. Mereka berasal dari Matrix UMM dan Maharipal UIN Lampung. Kemudian tamu lainnya berasal dari Lentera yang mana adalah Mapala dari Unsera. Kami bersitirahat sejenak sembari berbincang dengan salah satu anak Unsera juga Abah. Percakapan yang cukup lama dan kami harus kembali melanjutkan perjalanan dikarenakan bus sudah menunggu di Desa Ciboleger. Kami pun menyempatkan diri untuk berfoto bersama terlebih dahulu sebelum pulang bersama Abah dan Nara.

Gambar 2. Foto Bersama Sebelum Pulang
Gambar 3. Foto Bersama Sebelum Pulang 2

Hangat masyarakat Baduy di Tanah Baduy yang dingin memberikan kesan mendalam bagi kami. Hati yang mulia selalu tersemat, selain pakaian mereka yang khas. Maka untuk kalian penuntut ilmu perguruan tinggi, apalah guna nilai besar tetapi tidak berhati mulia.

2 Comments on “Hangat Baduy Dalam

Tinggalkan Balasan ke fadilla Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *